Beriringankah Kebijakan Fiskal dan Moneter Indonesia?
Perdebatan wacana intelektual antara kaum Keynesian dan
Monetaris merupakan salah satu perdebatan paling menarik dalam ilmu ekonomi
(selain perdebatan menarik lainnya seperti perdebatan antara Adam Smith vs Karl
Marx, Effisiensi vs Distribusi, Nasionalisme vs Liberalisasi, Proteksi vs Free Trade, dsb). Kaum Keynesian, mereka
yang percaya dan terus memperbarui teori-teori John Maynard Keynes (bapak ilmu
ekonomi modern), mempercayai bahwa perekonomian cenderung berada dalam posisi
keseimbangan output rendah. Hal ini dikarenakan pengeluaran agregat lebih kecil
dibandingkan pengeluaran agregat dan kurang ampuhnya mekanisme pasar untuk
melakukan penyesuaian. Sedangkan mereka yang berada sebagai kaum monetaris,
adalah pengikut ajaran Milton Friedman (peraih nobel bidang ekonomi tahun 1976
dan pelopor neoliberalisme). Kaum Monetaris percaya bahwasanya perekonomian
cenderung seimbang dan sumber daya digunakan penuh. Kepercayaan kaum Monetaris
ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat kekuatan pasar yang tidak
diikut-sertakan dalam model Keynesian, yakni turunnya suku bunga akan mendorong
investasi dan turunnya tingkat harga akan mendorong konsumsi melalui pigou effect. Agar lebih mudah dimengerti,
berikut saya tampilkan perbedaan-perbedaan perspektif mendasar antara kaum
Keynesian dan Monetaris.
TABEL I PERBEDAAN PERSPEKTIF KAUM KEYNESIAN & MONETARIS
Komponen
Perbedaan
|
Keynesian
|
Monetaris
|
Pertumbuhan
ekonomi
|
Dilakukan melalui kebijakan fiskal
|
Dilakukan melalui kebijakan moneter
|
Fluktuasi
|
Terjadi akibat perubahan dalam faktor-faktor dalam GDP.
|
Terjadi akibat pelonjakan dalam jumlah uang yang beredar.
|
Inflasi
|
Terjadi karena pengeluaran agregat lebih besar
|
Terjadi karena jumlah uang beredar terlalu banyak
|
Perubahan
dalam jumlah uang beredar
|
Tidak mempengaruhi tingkat dan suku bunga, pengaruhnya kecil bagi PDB
|
Mempengaruhi tingkat suku bunga, pengaruhnya besar bagi PDB
|
Konsentrasi
waktu
|
Jangka pendek
|
Jangka panjang
|
Pasar
tenaga kerja
|
Lebih banyak mengabaikan pasar tenaga kerja
|
Memperhatikan kembali pasar tenaga kerja
|
Perdebatan keduanya tentunya mempengaruhi wacana intelektual
dan aktor yang berperan sebagai decision
makers. Keduanya pernah mengenyam kemenangan sendiri-sendiri. Teori Keynes
terbukti ampuh menanggulangi depresi tahun 1930an dan Kaum Monetaris sempat
berjaya pada tahun 1970an.
Mana yang lebih baik? Tentunya akan sangat tergantung dari apa
justifikasinya dan bagaimana kondisinya. Misalnya, contoh kasus pertama, ketika
suku bunga rendah, masyarakat akan memegang jumlah uang lebih banyak (jumlah
uang beredar naik), maka akan terjadi inflasi. Tentunya yang harus dilakukan
adalah mengandalkan kebijakan moneter untuk meningkatkan suku bunga agar
mengurangi jumlah uang beredar, sehingga hasilnya dapat menurunkan tingkat
inflasi dan harga mencapai titik keseimbangannya kembali (dapat dilihat dengan
menggunakan pisau analisis kurva IS-LM). Contoh kasus lainnya ialah ketika
jumlah produksi pangan lebih banyak dibandingkan permintaan agregat. Kasus ini
akan menyebabkan harga komoditas pangan menjadi turun dan dapat menyebabkan
petani merugi. Dalam kasus ini yang harus dilakukan adalah melalukan kebijakan
fiskal seperti misalnya memaksimalkan peranan bulog sebagai buffer stock untuk menjaga keseimbangan
kurva penawaran-permintaan sehingga harga kembali menjadi stabil dan tidak
memberatkan petani.
Perlu diingat kembali bahwa kebijakan moneter dan fiskal
bukan seperti memilih mana yang lebih buruk antara terlalu banyak merokok yang dapat
menyebabkan impotensi atau terlalu banyak memakan nasi (karbohidrat) yang dapat
menyebabkan penyakit gula. Tidak merokok kadang menyebabkan sulit
berkonsentrasi, tidak makan nasi menyebabkan kekurangan energi. Yang paling
baik adalah setelah makan nasi dilanjutkan merokok, sehingga kelebihan energi
tidak menyebabkan sulit berkonsentrasi (perlu diingat ini bukan analogi yang
baik!).
Dalam problematika krisis ekonomi, baik kebijakan fiskal
maupun moneter, keduanya tentu harus berperan saling mendukung dan tidak
tumpang tindih.
Kebijakan Moneter
& Fiskal Indonesia per-September 2013
Black September! Bayang-bayang inilah yang menghantui
perekonomian nasional pada bulan September 2013. Ketidakmampuan produsen pangan
lokal mencukupi kebutuhan pangan, labilnya nilai tukar rupiah terhadap dollar,
dan membengkaknya defisit neraca perdagangan adalah rententan masalah yang
memiliki keterkaitan antar masing-masing variabel. Problematika ini ditanggapi
dengan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter menjadi
kewenangan Bank Indonesia. Sedangkan kebijakan fiskal menjadi kewenangan
lembaga eksekutif. Berikut ini saya tampilkan perkembangan kebijakan (baik
moneter maupun fiskal) yang ditempuh selama bulan Juni hingga September 2013
dalam merespon masalah dan ancaman krisis ekonomi.
TABEL II PERKEMBANGAN KEBIJAKSANAAN EKONOMI SELAMA BULAN JUNI-SEPTEMBER
2013
Tanggal
|
Masalah yang berkembang
|
Kebijakan
|
Rasionalisasi
|
13 Juni 2013
|
Desakan pencabutan Subsidi BBM
|
Kenaikan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6%
|
Ekspektasi inflasi dari rencana kebijakan subsidi
BBM dan stabilitas sisem kuangan ditengah ketidakpastian di pasar keuangan
global
|
22 Juni 2013
|
Membengkaknya defisit primer APBN
|
Mencabut subsidi BBM
|
Impor BBM semakin memberatkan APBN
|
11 Juli 2013
|
Inflasi bulan Juli 2013
|
Kenaikan BI Rate sebesar 50 bps menjadi 6,5%.
|
Memasikan inflasi yang meningkat pasca kenaikan BBM
bersubsidi
|
25 Juli 2013
|
Food volatile
inflation menjelang hari raya Iedul Fitri 1434 H
|
Membuka keran impor kebutuhan pangan, seperti daging
|
Menyeimbangan kurva penawaran dan permintaan
|
23 Agustus 2013
|
Mencegah krisis ekonomi, menyusul terjadinya
kemerositan nilai tukar rupiah dan IHSG di BEI
|
Pengeluaran empat paket kebijakan pemerintah, yaitu:
(1)
memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah,
(2) menjaga pertumbuhan ekonomi,
(3)menjaga daya beli,
(4) mempercepat investasi
|
Dilakukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi
Indonesia dan meminimalisir dampak guncangan ekonomi
|
29 Agustus 2013
|
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
|
Kenaikan BI Rate sebesar 50 bps menjadi 7%
|
Menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dollar
|
12 September 2013
|
Langkah lanjutan untuk pengendalian inflasi,
stabilitas nilai tukar rupiah, dan penyesuaian terhadap defisit transaksi
|
Kenaikan BI Rte sebesar 25 bps menjadi 7,25%
|
Ketidakpastian global yang masih tinggi memberikan
tekanan terhadap ekonomi Indonesia
|
Sumber: Rekapitulasi
Statement Kebijakan Moneter BI dan Kebijakan Pemerintah Juni-September 2013
Dari tabel II, kita bisa interpretasikan bahwa BI lebih
responsif menanggapi masalah ancaman krisis. Dari bulan juni hingga September,
BI telah menaikkan BI Rate sebanyak 125 bps! Tentunya ini menunjukkan bahwa
kebijakan moneter sekarang lebih reaktif dan tidak kaku. Hal ini berbeda dengan
kebijakan fiskal yang ditempuh oleh pemerintah, selama empat bulan terlihat
pemerintah eksekutif ‘hanya’ bergerak mencabut subsidi BBM dengan segala urusan
pembagian BLSM-nya dan mengeluarkan empat paket kebijakan pemerintah dalam
merespon ancaman krisis. Bahkan untuk paket kebijakan saja, selain dampaknya
tidak terasa dalam jangka pendek, kerjanya pun juga lama! Terhitung membutuhkan
satu bulan sejak kebijakan tersebut dikeluarkan untuk menyusun tim dan
menentukan indikator keberhasilannya. Pekerjaan pemerintah eksekutif lebih
banyak berkutat pada penyesuaian stabilisasi harga komoditas dengan menggunakan
rumusan impor ditengah melemahnya nilai tukar rupiah.
Kebijakan moneter seperti kenaikan BI Rate sebenarnya lebih
ampuh untuk menekan pelemahan rupiah dengan menguatkan nilai nominal rupiah,
tapi tidak akan cukup ampuh menghadapi masalah ketergantungan impor.
Ketergantungan impor ini disebabkan dari kurangnya pasokan dalam negeri, seperti
kebutuhan input produksi industri dan komoditas pangan. Selama masih tingginya
akan kebutuhan impor, selamanya diharuskan membayar dengan dollar, dan selama
itu pulalah kebutuhan mengeluarkan mata uang dalam bentuk dollar tetap banyak.
Meningkatnya BI Rate dapat menyebabkan bank menaikkan suku
bunganya. Hal ini akan memberatkan produsen lokal, baik pengusaha yang bekerja
di jasa keuangan dan UMKM, untuk memperoleh modal kerja dan meningkatkan
kinerja. Hasilnya memungkinan sektor riil bergerak semakin lambat dan tidak
bergerak. Ketika sektor riil tidak bergerak, sulit rasanya mengharapkan adanya
pengurangan ketergantungan akan komoditas impor dan meningkatkan kemampuan
ekspor nasional.
Bentuk kesalahan fatal dalam kebijakan publik adalah error type III, yakni salah dalam
menemukan masalah inti hingga kemudian salah mengeluarkan solusi kebijakan dan hasilnya
justru menimbulkan masalah baru. Masalah penurunan ekspor dan ketergantungan
impor bukan diselesaikan dengan meningkatan nilai nominal rupiah hingga
meringankan biaya pembayaran. Langkah ini dampaknya minim! Yang seharusnya
dilakukan ialah lebih banyak mengutak-atik dan mempercepat kebijakan fiskal
pro-produsen domestik guna mencukupi permintaan efektif domestik maupun
meningkatan produktivitas ekspor.
Baik atau buruk, kita harus tetap apresiasi langkah-langkah
yang dilakukan oleh BI. Walaupun belum tentu tindakannya menyelesaikan masalah
inti, tapi BI bergerak lebih cepat dan responsif. Sementara pemerintah
pemerintah bergerak lebih lambat dan kadang kala terlambat (seperti kasus
subsidi BBM). Teori bahwa kebijakan fiskal berdampak dalam jangka pendek dan
kebijakan moneter untuk jangka panjang tidak berlaku dalam problematika
nasional sekarang. Kebijakan fiskal yang dipimpin oleh pemerintah justru
berjalan lebih lambat dan mementingkan urusan jangka panjang. Hal ini
berkebalikan dengan kebijakan moneter yang dipimpin oleh BI dalam aktivitasnya
selama bulan Juni-September 2013.
![]() |
Sumber gambar: http://www.debtonation.org/topics/keynes/ |
Saya jelaskan di awal tentang kaum Keynesian dan Monetaris.
Hal ini untuk menunjukkan bahwasanya dalam kondisi sekarang, kebijakan moneter
ala kaum Monetaris bergerak lebih cepat dibandingkan dengan kebijakan fiskal.
Apakah kita sudah terjebak dalam arus pikiran neolib sehingga lebih banyak
mengandalkan kebijakan moneter? Dan semakin terjebak dalam paradigma neolib,
bahwa pemerintah terbaik adalah tidak melakukan apa-apa dalam urusan ekonomi
(?).
Mudah-mudahan tidak…
Semoga Semoga bangsa ini dapat berpikir cerdas, bahwa solusi
terbaik bukanlah hanya mengandalkan kebijakan moneter saja. Tapi pertemuan
antara kebijakan moneter dan fiskal yang saling mendukung dalam menyelesaikan
inti masalah.
Semoga prilaku pemerintah dengan kebijakan fiskalnya tidak
konsisten hingga akhir tahun: bergerak lambat, dampak kebijaksanaan tidak
secepat masalah yang terus berkembang, dan lebih sibuk untuk urusan politik
dibanding problematika ekonomi nasional yang pelik.
Komentar
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut